Demokrat Tolak Masa Jabatan Presiden Diperpanjang hingga 2027 

Demokrat Tolak Masa Jabatan Presiden Diperpanjang hingga 2027 

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan secara tegas menolak perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia hingga tahun 2027 bertentangan dengan konstitusi, yaitu UUD NRI 1945.

"Di dalam UUD NRI 1945, Pasal 7 dengan tegas disebutkan bahwa presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Kita bisa menarik kesimpulan bahwa masa jabatan presiden hanya sampai lima tahun atau hanya sampai tahun 2024. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih," tegas politisi Partai Demokrat itu dikutip dari laman MPR RI, Kamis (17/6/2021).

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat juga menegaskan menolak amandemen UUD NRI 1945, termasuk perubahan masa jabatan presiden dan wapres.


Saya atas nama Pimpinan MPR RI dari Partai Demokrat menyatakan menolak rencana amandemen UUD NRI 1945, termasuk menolak rencana perpanjangan masa jabatan hingga 2027," tegas Syarief Hasan.

Syarief Hasan menekankan, sejak awal Partai Demokrat dengan tegas penolakan amandemen UUD NRI 1945. Ia menolak isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga tahun 2027 atau delapan tahun serta menolak isu penambahan periode masa jabatan presiden dan wapres hingga tiga periode.

Syarief Hasan menegaskan, isu perpanjangan masa jabatan ataupun periode presiden dan wakil presiden berpotensi memunculkan kekuasaan yang absolut dan merusak. 

"Berbagai kajian akademis menyebut bahaya dari kekuasaan yang absolut. Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak cenderung merusak," tegas Syarief Hasan.

Politisi Senior Partai Demokrat ini juga berharap, iklim demokrasi dapat tetap terjaga dengan masa jabatan dan periode yang tidak berlebihan. 

"Reformasi sebagai bentuk perbaikan tata kelola pemerintahan menuntut masa jabatan terbatas hanya lima tahun dan maksimal dua periode sebagai bentuk koreksi atas sejarah kekuasaan absolut masa lalu dan agar iklim demokrasi tetap terjaga," tutup Syarief Hasan.